• +62 856 4080 6448
  • pemdes.jatirejo003@gmail.com
  • Senin – Jumat : 08.00 – 15.00
Pemdes Jatirejo Kabupaten Semarang Pemdes Jatirejo Kabupaten Semarang
  • BERANDA
  • Profil Desa
    • PROFIL DESA
    • SEJARAH DESA
    • ASAL USUL DESA
  • Informasi Desa
  • Program Desa
  • BUMDES BAROKAH
    • PROFIL BUMDES
    • KEGIATAN BUMDES
  • Hubungi Kami

Asal Usul Desa Jatirejo

Pada zaman dahulu, disebuah wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit, hiduplah seorang Demang yang sangat baik dan bijaksana.  Demang tersebut adalah pemeluk agama hindu yang taat, sehingga seluruh rakyatnya sangat menghormati dan patuh kepadanya. Demang tersebut bernama Demang  Mangu Suropawiro. Demang Mangu Suropawiro adalah sosok pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya. Beliau memiliki sifat yang jujur, adil  dan peduli  terhadap rakyatnya. Wilayah yang dipimpinya adalah wilayah yang sangat subur. Air sangat berlimpah sehingga dapat mengairi sawah dan ladang mereka. Sehingga kehidupan rakyatnya makmur dan bahagia.  

Akan tetapi malapetaka datang, sudah hampir tiga tahun belakangan ini Desa tersebut di landa kekeringan. Mata air yang biasa untuk mengairi sawah dan ladang mereka kering dan tidak mengalirkan air. Hujan yang biasanya setiap saat turun juga sudah tiga tahun ini tidak turun. Saat itulah rakyat menjadi resah. Bahan makanan yang mereka simpan sudah mulai habis. Pencurian banyak terjadi di mana – mana. Demang  Mangu Suropawiro pun menjadi bingung dan takut akan nasib rakyatnya. Segala cara sudah di upayakan tapi mata air tidak jua mengalirkan airnya. Hujan pun tidak kunjung turun membasahi bumi. Dalam keadaan seperti ini pemerintahan yang di pimpin Demang  Mangu Suropawiro menjadi mulai terombang – ambing.

 Pada suatu hari,   Sunan Kalijaga sedang melaksanakan perjalanan  siar agama Islam  keseluruh pelosok pulau jawa . Pada saat itu beliau sedang melintasi suatu tempat yaitu wilayah yang di pimpin oleh Demang Mangu Suropawiro. Sunan Kalijaga berniat untuk singgah beberapa hari di tempat itu. Dalam perjalanan bersiarnya, Sunan Kalijaga ditemani  oleh tiga  orang pengikut nya yang bernama  :

  1. Syech Somadun  yaitu seorang yang alim dan mahir di bidang keilmuan agama.
  2. Nur salim seorang yang mahir dalam ilmu beladiri.
  3. Pekatik penawangan  yaitu seorang pesuruh Sunan Kalijaga. 

            Pada saat itu Sunan Kalijaga dan ketiga pengikutnya sedang beristirahat di wilayah tersebut karena lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh. Sunan Kalijaga duduk pada semak – semak untuk melepaskan lelahnya . Saat itu beliau dan ketiga  pengikutnya mendengar ada suara orang yang sedang berbisik – bisik. lalu Sunan Kalijaga berkata :

Sunan Kali Jaga : “ Sinten niku engkang grunengan “

Lalu di sahutnya : “  Kulo, mbok Klewon, Panjenengan sinten  ?“

Sunan Kalijaga : “ Pangapunten, niki kulo mbok, ……..  enten punopo mbok kok sami

                               grunengan ? “

Mbok klewon : “ Niki sampun pinten – pinten  panenan mboten panen amargi mboten     

                            enten toya.  Katah tiyang engkang mboten saget mangan. Dadosaken   

                            katah maling ugi sanesipun. Paceklik puniko damel sengsara. “

Sunan Kalijaga : “ ngoten njih mbok. Ngapunten niku engkang jenengan tanem punopo

                              mbok ?

Mbok  Klewon  :  dengan terbata – bata  beliau menjawab “ Janggleng “

( padahal yang di  tanam sebenarnya adalah biji Jagung )

Sunan Kalijaga : “ Mugi Janglenge subur nggih mbok “

 ( Janggleng adalah biji Pohon Jati )

( Sekarang tempat tersebut disebut Dusun Gruneng, dan rumah tinggal mbok klewon dinamakan Dusun Klewonan )

Mendengar keadaan tersebut,  Sunan Kalijaga memerintahkan kepada pengikutnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di desa itu. Ketiga pengikutnya langsung berjalan menuju pasar. Disana mereka melihat banyak rakyat yang kurus kelaparan tergeletak di sepanjang jalan. Mereka sangat sengsara karena tidak ada makanan untuk dimakan dikarenakan tidak ada air selama tiga tahun ini. Sehingga selama itu desa tersebut mengalami paceklik yang sangat panjang. Banyak sekali kejahatan dari pencurian, perampokan dan pembunuhan yang terjadi untuk memperebutkan bahan makanan.  

Lalu, Sunan Kalijaga dan ketiga pengikutnya berusaha menemui penguasa wilayah tersebut, yaiutu Demang  Mangu Suropawiro. Sesampainya di rumah Demang  Mangu Suropawiro, Sunan Kalijaga mengucapkan salam “ Assalamualaikum “.Demang  Mangu Suropawiro tertegun dan tidak menjawab apa – apa. Lalu belia berkata :

Demang  Mangu Suropawiro : “ ngapunten kisanak sinten, sakeng tlatah pundi ?”

Sunan Kalijaga : “ Kula  Sunan Kalijaga sakeng  Kerjaan Demak meniko kulo melintas

                              wonten desa mriki, kulo tingali katah sanget tiyang kelaparan. “

Demang  Mangu Suropawiro : “ nggih, sampun tigang tahun meniko paceklik, tuk ageng

                                                    engkang biasanipun damel  sawah sampun pejah, ugi

                                                    mboten jawoh sampun tigang tahun niki.  sedoyo upokoro

                                                    sampun kulo  upayaaken, awet sakeng slametan, sedekah  

                                                    bumi upacara  nyeyuwun dumateng sanghyangwidi,           

                                                     sedoyo sampun kulo  laksanaaken. Hananging taseh

                                                    dereng saget kasil.”

Demang  Mangu Suropawiro menawarkan kepada Sunan Kalijaga untuk menginap di rumahnya untuk beberapa hari. Sunan Kalijaga sangat senang untuk dapat menginap beberapa hari di rumah Demang  Mangu Suropawiro.  Dalam keseharian nya selama menginap di rumah Demang Mangu Suropawiro, Sunan Kalijaga menjalankan Sholat lima Waktu, Membaca Al-Quran / Mengaji dan Berdzikir seperti biasanya. Demang Mangu Suropawiro begitu heran dengan apa yang selalu dikerjakan Sunan Kalijaga. Beliau selalu memperhatikan apa saja yang dikerjakan Sunan Kalijaga,  dan pada suatu ketika Demang Mangu Suropawiro menemui Sunan Kalijaga dan bertanya, Apa yang setiap hari beliau lakukan, ritual apakah itu dan apa yang di baca dikala malam hari yang begitu merdu menjadikan hati Demang Mangu Suropawiro begitu merinding dan terasa mnyejukkan hati. Maka beliau menjelaskan bahwa yang beliau laksanakan setiap hari adalah Sholat lima waktu dan yang beliau baca adalah Alquran ( Mangaji ). Demang  Mangu Suropawiro belum pernah melihat ritual Sholat dan Mengaji sehingga beliau merasa asing. Sunan Kalijaga menceritakan bahwa itu semua adalah Ajaran Agama Islam. Tuhan yang disembah adalah “ Allah “  lalu sunan Kalijaga berkata kepada Demang  Mangu Suropawiro :

Sunan Kalijaga : “ Ngapunten Demang, Kulo gadah Sesembahan engkang agung ugi  

                              Saget nyukani napakemawon engkang dipun betahaken hambanipun.

                              Sesembahan kulo Muniko injih ALLAH.”  Punopo jenegan gadah

                             panyuwunan engakang bade kulo suwunaken dumateng ALLAH kula ?“

Demang Mangu Suropawiro : “ Kula namung gadah setunggal penjalukan, inggih muniko

                                                    kulo nyuwun supados rakyat kulo dipun tulung sakeng

                                                    paceklik meniko.

Sunan Kalijaga            : “ punopo hanamung punika penjaluk jenengan ? “

Demang Mangu Suropawiro : “ Njih Sunan, hanamung puniko. Lan seumpami samangkeh

                                                   sesembahan jenengan saget nylametaken Rakyat kula

                                                   sakeng musibah paceklik puniko.  kulo ikrar wonton diri

                                                  kulo, Kula bakal mlebet wonten agama Islam .”

Tepatnya pada malam satu syura, Sunan Kalijaga mengajak Demang Mangu Suropawiro berjalan ke sebelah barat desa.  Beliau mencari  lokasi yang menurut  Beliau paling tinggi. beliau berdiri pada sebuah batu yang datar sembari memanjatkan doa kepada Allah.        Demang Mangu Suropawiro  hanya melihat dan tertegun sembari bertanya – tanya dalam hatinya. “ Apa yang dilakukan Sunan Kalijaga “. Dengan penuh keyakinan Sunan Kalijaga membaca  “ Bismillahirahmnirrahim “ dihentak kanlah kaki beliau ke batu yang beliau pijak hingga batu tersebut berbekas telapak kaki sunan Kalijaga. Saat itu juga tanah di sekitar batu tersebut bergerak seperti ada sebuah gempa. Demang Mangu Suropawiro takut dan bingung. Beliau berkata “Apa yang terjadi sunan, ada apa ini ? “ belum selesai bertanya, dari celah celah batu tersebut terdengar suara gemercik air yang mengalir begitu deras ke segala penjuru arah. Pancaranya semakin besar dan besar, sehingga dalam waktu beberapa saat, tanah di sekitar batu tersebut telah tertutupi genangan air. Akhirnya Demang Mangu Suropawiro melompat ke atas batu.  Beliau melihat air bertambah banyak sehingga wilayah tersebut menjadi sebuah sendang yang jernih dengan air yang melimpah. Saat ini sendang tersebut terkenal dengan Sendang Tapak Wali. Karena di atas batu tersebut ada bekas telapak kaki sunan Kalijaga saat menghentakkan kaki beliau.

Sendang tapak wali memancarkan air yang sangat deras sehingga dapat terpancar kesegala arah dan membentuk aliran seperti sungai kecil yang tersebar di seluruh desa. sehingga tanah yang tadinya gersang karena kekeringan dengan dialiri air dari sendang tapak wali tersebut berangsur angsur mulai tumbuh tanaman – tanaman.  Demang Mangu Suropawiro akhirnya menyatakan masuk Islam. Beliau disyahadat oleh Sunan Kalijaga di atas Batu Tapak Wali,  lalu diajarkan Sholat Taubat. Sunan kalijaga lalu mengubah nama  Demang Mangu Suropawiro menjadi IHSANUL IBRAHIM.

Mata air pada Sendang Tapak Wali menjadi Sumber mata air yang besar dan dapat mencukupi seluruh kebutuhan rakyat di desa tersebut. Dari bercocok tanam hingga untuk kebutuhan hidup. Hal yang ajaib adalah, jagung yang di tanam mbok Klewon ketika bertemu sunan kalijaga, tidak tumbuh menjadi tanaman Jagung, melainkan tumbuh menjadi Pohon Jati yang subur dan lebat. Untuk mempermudah penyebaran Islam di wilayah itu, Demang Ihsanul Ibrahim bersama Sunan Kalijaga dan ketiga pengikutnya berinisiatif untuk mendirikan masjid sebagai sarana untuk bersyiar dan berdakwah di wilayah tersebut.

Mbok  Klewon mendengar jika Sunan Kali Jaga ingin mendirikan Masjid. Lalu Mbok Klewon  meminta kepada  Sunan Kalijaga  untuk mempergunakan pohon Jati tersebut sebagai bahan untuk membangun Masjid. Karena beliau dulu merasa menanam Jagung,  karena Salah Mengucap “ Janggleng “ atas  izin Allah biji-biji Jagung tersebut tumbuh menjadi pohon jati yang subur. Hal itu karena telah di doakan oleh Sunan Kalijaga.  Demang Ihsanul Ibrahim bersama Sunan Kalijaga dan ketiga pengikutnya menebang pohon jati tersebut dan di bawa ke tempat yang lapang dan luas untuk di proses menjadi bahan untuk membuat masjid. Disekitar tempat lapang tersebut di dirikan balai kecil untuk beristirahat dan berbincang – bincang selama mengolah kayu jati tersebut. Sekarang ini tempat tersebut dinamakan petilasan Sunan Kalijaga “ BALAI PANJANG “ . Balai Panjang selanjutnya diyakini  oleh warga sebagai tempat yang sakral dan memiliki nilai spiritual yang tinggi. Karena tempat tersebut diyakini masih memiliki nilai supranatural dari kewalian Sunan Kalijaga. Pada waktu itu Balai Panjang diyakini warga menjadi tempat untuk meluruhkan Nazar dan juga tempat yang sangat ijabah untuk berdoa dalam upaya memohon hajat / keinginan supaya terkabul. Balai panjang juga diyakini sebagai tempat untuk ngalap berkah dan juga menghilangkan penyakit serta kesialan dengan ritual yang disebut ritual MIDANG. Ritual midang adalah ritual adat dan keagamaan yang hanya ada di Desa Jatirejo, tepatnya di Petilasan Sunan Kalijaga “Balai Panjang”. Ritual Midang adalah ciri khas prosesi yang sangat sakral di Petilasan Sunan Kaliajaga “Balai Panjang “  Desa Jatirejo. Prosesi sakral ini tidak di temukan di wilayah laianya. Dalam prosesinya Ritual Midang, setiap orang yang ingin ngalap berkah, sembuh dari sakit,membuang sial, atau ingin hajat / keinginanya terkabul, mereka harus bersuci dengan wudlu , lalu berjalan memutari banguanan kayu Balai Panjang dengan arah melawan Jarum jam sebanyak 7 kali ( yaitu seperti tawaf pada ibadah Haji ). Selama berjalan mengelilingi petilasan Balai Panjang dilarang bercakap – cakap dan di awali dari sisi Barat Petilasan Balai panjang.  Pada putaran pertama yaitu membaca Syahadat semampunya sampai di barat bangunan balai panjang.  Dilanjutkan putaran keduan dengan membaca istighfar semampunya sampai di awal mulai. Lalu pada pada putaran ketiga membaca surat Alfatihah . dilanjutkan pada putaran  ke empat membaca LailahaillAllah. Pada putaran ke lima membaca Sholawat. Dilanjutkan putaran keenam dengan membaca lahaulawalakuwataillabillahilazim dan pada putaran ke tujuh atau putaran terakhir membaca subhanallah. Setelah itu mereka masuk kedalam balai panjang dengan bersedekah yaitu meletakkan uang koin seikhlasnya diatas sebuah tampah dan dilanjutkan bermunajat atau berdoa dengan khusyuk dengan permohonanya masing – masing. Setelah mereka berdoa lalu dilanjutkan dengan dzikir tahlil yang di pimpin oleh juru kunci dari Balai Panjang. Setelah acara dzikir tahlil selesai mereka disarankan untuk berbagi rizki dengan membeli jajanan orang – orang yang berjualan di sekitar petilasan balai panjang. Dahulu di yakini semakin banyak kita melarisi pedagang di sekitar balai panjang setelah acara ritual midang maka mereka akan dimudahkan Rizkinya oleh Allah. Ritual midang tidak boleh  lebih dari adzan dzuhur. Ritual  Puncak  nya yaitu dengan menyebar uang koin yang tertampung pada tampah yang di jariyahkan oleh para peziarah dan untuk diperebutkan oleh seluruh orang yang hadir pada acara ritual midang tersebut. Hari pelaksanaan   Ritual midang hanya dilaksanakan setiap Hari Jumat Legi.

Akhirnya Setelah Rangkaian kayu  Jati tersebut siap. Sunan Kalijaga mebawa kayu – kayu jati tersebut ke utara Balai Panjang yaitu pada sebuah tanah yang berbentuk gundukan.  Lalu diatas gundukan tanah tersebut di dirikan sebuah masjid oleh Sunan Kalijaga. Masjid tersebut menjadi pusat kegiatan Sunan Kalijaga dan juga masyarakat yang mayoritas masih beragama Hindu. Mereka datang ke masjid ada yang hanya sekedar singgah atau beristirahat. Masjid tersebut menjadi tempat berkumpulnya rakyat dan banyak pula yang akhirnya Masuk Islam. Lambat laun masyarakat menjadi faham akan fungsi dari masjid itu. Yaitu tempat untuk beribadah bagi yang sudah memeluk Islam.  Maka tempat disekitar masjid tersebut dinamai oleh Sunan Kalijaga dengan Sebutan KAUMAN yang berarti tempatnya  Kaum ( orang – orang )  yang beriman ( orang – orang yang taat ) berkumpul. Sekarang ini tempat tersebut dikenal dengan nama Dusun KAUMAN. Masjid yang didirikan oleh Sunan Kalijaga dan Demang Ihsanul Ibrahim serta ketiga pengikutnya tersebut di beri nama Masjid Agung Jati dan sekarang di ubah nama menjadi “  Masjid Baiturakhim “ . Sisa kayu jati (tatal ) dari pembuatan tiang soko masjid Agung Jati tersebut di kumpulkan sunan kalijaga dan menurut sejarah di sambung menjadi sebuah tiang penyangga atau tiang soko di masjid demak.

Lalu Sunan Kalijaga menamakan wilayah kekuasaan Demang Ihsanul Ibrahim tersebut dengan sebutan JATIREJO,  yaitu dari hutan Jati yang subur lalu dari pohon tersebut dibangun  sebuah Masjid yang menjadikan  wilayah tersebut menjadi  Ramai ( Rejo ).   

Demang Ihsanul Ibrahim  melanjutkan memimpin wilayah tersebut dan diberi gelar “ SUNAN JATI “ Makam beliau bersanding dengan Nyai Jati yang terletak pada Jalan Masuk Makam Sunan Jati sebelah barat. Sedangkan ketiga pengikutnya di perintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk membantu Sunan Jati untuk bersiar dan mengajarkan agama di wilayah Jatirejo tersebut.

 Syech Somadun Murid pertama Sunan Kalijaga diberi gelar “ KIYAI JATI “ di karenakan ilmu agamnya yang tinggi oleh Sunan Kalijaga. Makam beliau menempel dengan masjid Agung Jatirejo. Sedangkan  Pekatik Penawangan diperintahkan oleh sunan kalijaga untuk mengumandangkan adzan setiap kali tiba waktunya sholat dan diberi Gelar KHOTIB PENAWANGAN oleh Sunan Kalijaga.  Situs Makam Beliau terletak menyendiri di Sebelah Barat Laut Masjid  tepatnya timur dari Balai Desa Jatirejo.

Sedangkan Nur Salim diberi gelar QUN RAZIQIN oleh sunan kalijaga. Makam Beliau berdampingan dengan makam Syech Somadun  atau  Kiyai Jati yang terletak di selatan Masjid agung Jatirejo.

Setiap Satu Syura atau Satu Muharam, ditetapkan dan dijadikan Sebagai Hari Jadi Desa Jatirejo. Pada hari itu diperingati dengan diadakanya merti desa. Adapun acara merti desa Jatirejo adalah Pengambilan air pada sumber mata air Sendang Tapak Wali yang di tempatkan pada sebuah kendi tanah. Air dalam kendi tersebut dibawa  dan diarak mengitari Desa Jatirejo yang di ikuti seluruh masyarakat Desa Jatirejo dari anak – anak hingga dewasa. Rute arak – arakan tersebut adalah melewati seluruh dusun dan berakhir di Situs Peninggalan Balai Panjang. Pada malam harinya diadakan dzikir tahlil bersama di situs peninggalan Balai Panjang dan di puncak kegiatan ditutup dengan doa keselamatan untuk seluruh masyarakat dan dilanjutkan dengan penyiraman air yang telah di ambil dari Sendang tapak wali pada lantai situs balai panjang . Rangkaian acara tersebut  bermakna memperingati hijrahnya   Demang Surapawira dari Hindu menjadi Islam dan berganti nama menjadi Ihsanul Ibrahim atau Sunan Jati. Selain itu juga ucap rasa syukur kepada Allah atas pertolonganya kepada masyarakat Desa Jatirejo yang saat itu mengalami paceklik panjang  dan kelaparan dimana – mana , berubah menjadi Desa yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Makmur, Rejo dan Agamis.

Sebelum Sunan Kalijaga kembali ke Demak, Beliau berpesan kepada para muridnya bahwa : Setiap kesulitan yang Allah berikan kepada manusia, Pasti Allah memberikan kemudahan dan kebahagiaan setelahnya. Dalam menghadapi kesulitan tersebut, hendaknya manusia selalu bersabar, dan yakin bahwa Allah dapat menolong mengeluarkan mereka dari kesulitan itu. Janganlah berputus asa dalam menghadapi kesulitan yang Allah berikan, tetap berihtiyar dan Janji Allah akan Nyata. 

Copyright 2025, Pemerintah Desa Jatirejo, Kab. Semarang